Oleh: Raja Iqbal Islamy, S.H.*
MELIHAT corat-coret atau vandalisme yang dilakukan oleh tangan jail di dinding kawasan Kampung Pecinan atau wilayah sekitar Kelenteng Kim Hin Kiong Gresik yang baru saja diperindah, tentu membuat geram masyarakat dan pemerintah.
Berbagai coretan dengan menggunakan cat pylox tampak di tembok rumah warga di sekitar Kampung Pecinan. Bahkan, coretan tersebut tak senonoh yang membuat kawasan destinasi ini menjadi kumuh.
Berbicara aksi vandalisme, publik tentu masih ingat dengan penangkapan pelaku aksi vandalisme di Tangerang pada tahun 2020 lalu yang ramai jadi bahan perbincangan masyarakat karena buku Eka Kurniawan berjudul “Corat-Coret di Toilet” menjadi barang bukti kepolisian.
Sebagaimana diketahui, cerpen tersebut menyampaikan realitas kebanyakan orang di toilet sebagai tempat yang termajinalkan, akan tetapi dianggap sebagai ruang celoteh serta meninggalkan segala coretan-coretan. Dari coretan radikal, progresif, mesum, cerdas, bodoh, kartunis, rayuan yang ditulis Eka Kurniawan sebagai realitas tersebut, kebanyakan orang pasti pernah melihat. Jelas coretan semacam itu tidak dibenarkan, tetapi menarik bahwa dinding toilet semacam menjadi ruang demokrasi, bahkan dinding toilet seolah lebih dipercaya daripada bapak-bapak anggota dewan.
Tindakan corat-coret atau vandalisme tentu tidak hanya dilakukan di toilet saja, melainkan juga di tempat umum mana pun dan bisa berupa apa pun: gambar, coretan, grafiti atau pengotoran pada objek tertentu yang biasanya dilatari alasan pembenaran sebagai tindakan ekspresi, kekecewaan, bersenang-senang, balas dendam, frustasi yang pelakunya bisa sendiri ataupun berkelompok. Vandalisme merupakan penghancuran atau pengerusakan objek bukan miliknya atau dalam suatu lingkungan atas tindakan yang disengaja dan dianggap sebagai pelanggaran norma.
Oleh karena itu, perilaku vandalisme di tempat publik yang kini memasuki area-area strategis, wilayah sebagai tempat sakral atau dijaga kondisi lingkungannya perlu mendapat perhatian dari pemerintah setempat. Karena, tindakan vandalisme termasuk tindakan pidana ringan yang diatur dalam Pasal 489 Ayat 1 KUHP yang berbunyi “Kenakalan terhadap orang atau barang yang dapat menimbulkan bahaya, kerugian atau kesusahan, diancam dengan pidana denda paling banyak dua ratus dua puluh rupiah”.
Selanjutnya, Pasal 489 Ayat 2 KUHP yang berbunyi “Jika ketika melakukan pelanggaran belum lewat satu tahun sejak adanya pemidanaan yang menjadi tetap arena pelanggaran yang sama, pidana denda dapat diganti dengan pidana kurungan paling lama tiga hari”.
Kendati demikian, pendekatan ukuran keadilan sebagai upaya penegakkan hukum akibat tindakan vandalisme merupakan upaya represif, dengan kata lain keadilan hukuman dibebankan atas ukuran kesalahan yang diperbuat. Langkah ini bukanlah suatu hal yang solutif untuk kasus tersebut.
Contoh, menghukum pelaku vandal dengan sanksi denda atau suatu hukuman dengan membayarkan uang, hal ini malah berpotensi membuat para pelaku melakukan tindakan serupa di kemudian hari. Begitu juga dengan hukuman kurungan, bakal berdampak pada diri pelaku, di antaranya menerima pelabelan negatif dari keluarga atau masyarakatnya, serta mempengaruhi mental pelaku yang bisa saja berbuat tindak pidana lainnya.
Adapun langkah alternatif dan terbaik yang bisa dilakukan untuk penyelesaian tindak pidana tersebut, yakni dengan menggunakan sistem restorative justice yang mekanismenya mempertemukan antara pelaku dan pihak yang merasa dirugikan. Dialog atau musyawarah antarpihak tersebut mencari atau menemukan bersama-bersama penyelesaian tanpa ada unsur pembalasan terhadap pelaku. Pada prinsipnya, adanya pemulihan kepada pihak yang dirugikan dengan melakukan ganti kerugian, perdamaian, kerja sosial ataupun kesepakatan-kesepakatan lainnya.
Restorative justice dengan menyelesaikan permasalahan dengan jalur non-litigasi (di luar pengadilan) nyatanya bukan hal baru bagi masyarakat adat di Indonesia. Jika mengupas hukum adat Indonesia sebenarnya hampir memiliki kesamaan pemahaman dengan pendekatan restorative justice yang mana suatu perkara yang terjadi di lingkungan masyarakat adat mencari titik temu secara bersama-sama.
Begitu pun dengan kasus vandalisme di Kampung Pecinan, jika pelakunya berhasil ditangkap, pemerintah sebaiknya melakukan pendekatan restorative justice atau musyawarah dengan berbagai pihak (pelaku dan yang dirugikan/masyarakat) guna membahas pemecahan masalah, agar tidak terjadi di ruang publik lainnya, serta memberikan sosialisasi terbuka bagaimana cara menyampaikan aspirasi yang baik, jika tidak sepakat dengan kebijakan-kebijakan pemerintah.
Namun seperti kata pepatah “Sedia Payung Sebelum Hujan”, semestinya penyelesaian permasalahan vandalisme harus dilakukan dengan langkah preventif, antisipasi, atau pencegahan. Selain itu, juga perlu perumusan serta pemecahan masalah agar tidak berlanjut atau setidaknya mengurangi perbuatan vandalisme di Gresik, bukan hanya berlaku pada kawasan tertentu.
*Saat ini beraktivitas di HAP LAW Office (Al Ushudi, Aditya & Partners)