Nasional – Beritautama.co – Dalam dunia musik tidak jarang Band atau Penyanyi menyajikan lagu bernuansa perlawanan dan kritik atas situasi Sosial Politik yang terjadi. Karena banyak musisi meng amini bahwa musik adalah media yang efektif untuk menciptakan kesadaran kritik mayatakat.
Rage Against The Machine (RATM) salah satu Band dunia yang selalu melibatkan kesadaran politik kritisnya dalam karya karyanya. Band asal Amerika Serikat ini Lahir di Los Angles pada tahun 1991 dengan mengusung genre Rap, Rock, Metal.
Dengan Formasi De la Rocha (Vokal), Tom Morella (gitar), Tim Commerford (bass), dan Brad Wilk (drum) berhasil mencuri perhatian publik saat merilis Album dengan Caver bergambar Thich Quang Duc, Seorang biksu asal Vietnam yang melakukan bakar diri dijalan Saigon pada 1963 sebagai bentuk perlawanan pada pemerinta yang berkuasa pada saat itu.
Karya perdana Rage Against The Machine di jual tanpa lebel rekaman, namun sukses terjual 5 ribu kopi. Demo itu lalu membawa Rage Against The Machine bergabung dengan Epic Records, sebuah lebel mainatream yang berinduk kepada sony.
Pada 1992, album pertama Rage Against The Machine mendapat respons positif di pasaran dengan meraih triple platinum dan masuk Billboard Top 50 dan UK Top 20. Alhasil Dari yang mulanya hanya bermain di gigs-gigs kecil, Rage Against The Machine bermain di festival musik macam Lollapalooza, Woodstock, hingga menjadi band pembuka di tur Public Enemy.
Dalam perjalanan bermusik Rage Against The Machine kerap diterpa isu bubar. Namun mereka tetap mampu merilis album kedua pada 1996 dengan tajuk Evil Empire. Aksi protes Rage Against The Machine kembali ditunjukkan ketika membawakan lagu Bulls on Parade di acara Saturday Night Live pada April 1996. Dalam konser tersebut yang seharusnya membawakan 2 laku di putus 1 lagu di karena berusaha menggantungkan bendera Amerika Serikat dengan terbalik sebagai protes kepada calon presiden dari Partai Republik, Steve Forbes, yang hadir sebagai tamu di acara tersebut.
Pada tahun 1999, Rage Against The Machine merilis album ketiga dengan nama The Battle of Los Angeles. Di tengah karier yang semakin menanjak, Rage Against The Machine justru menemui konflik internal (2000) hingga tuntutan label seperti tur dan konser disebut-sebut menjadi pemicu utama bubarnya Rage Against The Machine.
Puncak Konflik yang paling ramai terjadi pada ajang MTV Video Music Awards 2000 di New York. Acara tiba-tiba menjadi kacau saat pemenang kategori Video Rock Terbaik dibacakan yaitu Limp Bizkit.
Bassist Rage Against The Machine, Tim Commerford, tiba-tiba naik ke atas panggung sebagai bentuk penolakan atas keputusan tersebut. Aksi tersebut menyebabkan acara terhenti hingga akhirnya pihak keamanan menurunkan Commerford dan mengamankanya.
Konsekuensi dari aksi Commerford tidak main-main, satu bulan setelah insiden itu Zack de la Rocha memutuskan keluar dari band. Ia mengaku malu melihat perangai kawannya tersebut.
“Saya merasa harus meninggalkan Rage Against The Machine sekarang karena proses pengambilan keputusan kami telah gagal total. Tidak lagi memenuhi aspirasi kami berempat secara kolektif sebagai sebuah band dan dari sudut pandang saya, telah merusak cita-cita artistik dan politik kami,” ujar La Rocha dalam pernyataannya saat itu.
“Saya sangat bangga dengan pekerjaan kami, baik sebagai aktivis maupun pemusik. Dan saya juga berhutang budi serta mengucapkan terima kasih kepada setiap orang yang telah menyatakan solidaritas dan berbagi pengalaman luar biasa ini bersama kami.”
Kendati akhirnya ditinggalkan sang vokalis, Rage Against The Machine masih merilis album keempat mereka pada Desember 2000 bertajuk Renegades. Tak berselang lama setelah album ini dilepas, tiga personel dari Rage Against The Machine membangun band baru bernama Audioslave.
Walaupun berahir bubar, Munculnya tindakan politik dari Rage Against The Machine lahir dari pengalaman Morello dan de la Rocha yang tumbuh dalam belenggu rasialisme di waktu kecil.
Alasan yang fundamental mereka berdua untuk menyuarakan masalah-masalah yang dihadapi masyarakat Amerika Serikat seperti rasialisme, kapitalisme, kesenjangan sosial, hingga kekerasan kepada minoritas dituangkan dalam karya Rage Against The Machine.
Muncul lagu-lagu bermuatan poltik dari Rage Against The Machine seperti Know Your Enermy, Take the Power Back, lalu Maria, serta Killing the Name yang menjadi lagu untuk protes dengan salah satu liriknya berbunyi ‘Fuck you, I won’t do what you tell me.
Komentar telah ditutup.