PROBLEMA penyaluran pupuk bersubsidi yang berantakan ke masyarakat (baca-petani), masih terjadi setiap tahunnya. Meskipun telah berganti-ganti rezim dalam pemerintahan, tetapi sampai saat ini belum juga tuntas.
Berbagai permasalahan yang timbul karena luput dari perhatian pemerintah pusat bahwa di daerah ini tidak hanya sektor pertanian yang membutuhkan pupuk bersubsidi. Namun sektor perikanan juga membutuh pupuk subsidi.
Prinsip petani tambak agar mendapat biaya produksi semurah mungkin untuk bisa mendapatkan hasil yang maksimal. Jika menggunakan pakan ikan (pelet) dalam budidaya ikan di tambak air tawar, justru tidak cukup biayanya dan malah merugi. Tak salah, ada petani tambak di Kabaupaten Lamongan yang melakukan unjukrasa ketika pupuk untuk sektor pertambakan dikurangi.
Permasalahan lain yang juga belum tuntas bertahun-tahun yakni alokasinya pupuk subidisi bagi petani tidak pernah kuotanya terpenuhi 100% dari kebutuhan sesuai dari pengajuan. Hal ini, sudah menjadi pemicu keributan di petani.
Diperparah lagi, penyaluran pupuk ini seringkali tidak sesuai dengan musim tanam dan musim panen. Di Indonesia ini, hanya mengenal 2 musim yakni musim penghujan dan musim kemarau. Petani di Indonesia yang rata-rata mengandalkan sawah tadah hujan, mereka memulai masuki musim tanam ketika curah hujan tinggi. Dengan demikian, kebutuhan pupuk subsidi meningkat di musim tanam. Begitu juga petani tambak, mereka mulai menabur benih ikan di musim penghujan karena tambak terisi air hujan.
Namun barang (pupuk subsidi) yang dibutuhkan justru tidak tersedia. Makanya petani merasakan pupuk langka ketika mereka membutuhkan. Permasalahan pola distribusi ini, yang membuat keberadaan barang ini kerap hilang di pasaran, Padahal, pemerintah selalu mengklaim produksi dari pupuk ini sudah mencukupi. Sekali lagi, yang dicari petani adalah pupuk subsidi. Kalau mekanisme tetap menggunakan pupuk bersubsidi, maka sediakan saja barangnya sesuai kebutuhan dan sesuaikan dengan musim tanam dan musim penghujan.
Pola rencana dasar kebutuhan kelompok (RDKK) sampai elektronik rencana dasar kebutuhan kelompok (e-RDKK), penulis pikir tidak menyelesaikan persoalan. Karena setiap tahun pasti seperti ini masalahnya.
Semua problematika tersebut bisa terselesaikan. Tentu perlu sistem pendataan yang canggih agar insentif tersebut bisa tepat sasaran. Maka, ada langkah-langka yang harus dilakukan pemerintah
Pertama, pola pendataan yang canggih agar petani bisa terdata secara faktual. Data menjadi hal yang sangat mendasar. Kedua, mekanisme bantuan diberikan langsung tunai kepada petani agar mereka memiliki ‘proud’sebagai petani.
Ketiga, supporting system dari peran Pemerintah Daerah dengan menjaga keberlangsungan infrastrukturnya; jaringan irigasi, sumur bor, pintu air, jalan usaha tani dan jalan produksi perikanan.
Kalau masih tak menyelesaikan masalah, pola pendistribusian pupuk subsidi dihapus saja, diganti insentif uang bagi petani dan petambak. Kareana masyarakat lelah setiap tahun menghadapi problematika yang sama. Apalagi di Kabupaten Gresik identik dengan lumbungnya pupuk. Apa perlu setiap tahun, petani dan petambak Gresik turun jalan menggelar demonstrasi dengan persoalan yang sama?. Make proud farmers, please !.
M Syahrul Munir (Ketua F-PKB DPRD Gresik)