GRESIK, Berita Utama- Kinerja pendapatan daerah dalam APBD Gresik tahun 2023 yang jeblok, menjadi sorotan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI yang tengah melakukan pemeriksaan di Pemkab Gresik. Khususnya, pendapatan asli daerah (PAD) dari pajak dan retribusi daerah. Realitas tersebut diungkapkan oleh Anggota Badan Anggaran (Banggar) DPRD Gresik, M Syahrul Munir, Rabu (03/04/2024).
“Yang disorot BPK RI, antara target dan realisasi sangat njomplang. Seperti pendapatan pajak mineral bukan logam dan batuan (MBLB) atau galian C,”tutur dia.
Dijelaskan ketua F- PKB DPRD Gresik ini, BPK RI mempertanyakan dasar ataupun asumsi yang digunakan dalam menetapkan target pendapatan daerah. Sehingga, antara target dan realisasi sangat jauh. Termasuk dalam menetapkan PAD dari pajak MBLB atau galian C tersebut.
“Ada potensi tindakan ilegal dan perusahaan tak berizin di sekitar titik tambang,”papar dia.
Dalam APBD Gresik tahun 2023, sambung dia, PAD dari pajak MBLB dipatok sebesar Rp 20 miliar. Tetapi, realisasinya hanya sebesar Rp 3,9 miliar ata hanya 38 persen. Dirincikan oleh Anggota Komisi II DPRD Gresik ini, pajak MBLB terdiri dari Pajak Batu Kapur yang ditarget sebesar Rp 10 miliar. Realisasinya hanya sebesar Rp 3.8 miliar atau minus sebesar Rp 6,1 miliar. Kemdian Pajak Dolomit ditargetkan sebesar Rp 9.9 miliar yang tak terealisasi alias nilis. Lantas Pajak Marmer ditarget sebesar Rp 50 juta. Realisasinya juga nihil. Terakhir, Pajak Phospat yang ditargetkan sebesar Rp 50 juta, tetapi realisasinya nihil.
Padahal, Syahrul Munir menilai pendapatan yang masuk tidak sebanding dengan dampak yang ditimbulkan. Sebab, perusahaan tambang galian C tak berizin maka tidak melakukan reklamasi pasca tambang.
“Ini sudah bisa dikategorikan dalam kejahatan lingkungan,”paparnya.
Anggota Komisi II DPRD Gresik Syahrul Munir mengatakan investasi yang masuk di Kabupaten Gresik sepanjang tahun 2023 mencapai Rp 37 triliun banyak juga aktivitas untuk pengurukan lahan menggunakan galin C.
Pendapatan dari pajak MBLB tidak jauh berbeda dari tahun 2021 sebesar Rp 2,218 miliar. Begitu juga di tahun 2022 yang juga masih diangka Rp 2 miliar. Dengan rendahnya kenaikan menunjukkan kinerja pengawasan OPD tidak maksimal.
“Kami minta agar memaksimalkan CCTV dan checker di zona-zona tambang,” ujarnya.
Komentar telah ditutup.