GRESIK, Berita Utama – Inovasi yang diciptakan Bahar Rozikin (47), warga Perumahan Griya Wiharta, Desa Sekarkurung, Kecamatan Kebomas, sangat membanggakan dan bisa membangkitkan perekonomian dalam negeri untuk memaksimalkan sumber daya alam (SDA) Indonesia.
Alumnus ITS Surabaya ini, berhasil menciptakan plasma smelter non elektronik pertama di Indonesia, bahkan dunia internasional.
Penemuan smelter plasma ini, dilandasi tidak terdapat alat pelebur mineral mentah di Indonesia. Plasma smelter non elektronik dibuat agar mampu melelehkan mineral hasil tambang seperti mangan, nikel, dan lain lain dari bahan mentah menjadi bahan setengah jadi dengan daya rendah.
Selain itu, alat tersebut juga menyikapi Peraturan Menteri ESDM Nomor 11 Tahun 2019 tentang larangan ekspor bijih nikel sejak 1 Januari 2020.
“Setelah adanya kebijakan itu, banyak perusahaan tambang dalam negeri gulung tikar. Seperti teman saya yang punya lahan seluar 700 hektar di NTT (Nusa Tenggara Timur). Pada tahun 2020, gulung tikar. Dia kemudian membuat info ke saya disuruh membuat alat plasma smelter,” ujarnya saat ditemui beritautama.co di tempat kerjanya, Senin (28/08/2023).
Untuk menghasilkan inovasi plasma non elektronik ini, Bahar mengaku melakukan riset selama 16 tahun sejak tahun 2007. Sebab, jika dibandingkan dengan sistem peleburan mineral produksi besar yang mencapai daya lebih dari 1 MW, maka plasma smelter buatnnya hanya menggunakan daya 100 KW.
“Saya tekankan, bukan pada teknologi plasmanya melainkan pada non elektroniknya. Sehingga dapat digunakan untuk pengolahan tambang kelas menengah ke bawah,” tutur dia.
Bahar berharap kedepannya nikel dan mangan bisa diolah oleh bangsa Indonesi sendiri tanpa ketergantungan sparepart dari luar negeri.
“Mesin ini hasil handmade (buatan tangan-red), untuk pengoperasiannya gak perlu kemampuan orang pinter, yang penting tekun,” imbuh dia.
Saat ini, Bahar tengah memproses pengajuan hak paten untuk melegalkan penemuannya agar bisa dimanfaatkan oleh lingkungan.
“Masih dalam proses pengurusan. Keluarnya hak paten menunggu sekitar 3 sampai 6 bulan. Saat ini, menunggu ada yang menyanggah atau tidak dan sebagainya,” pungkas dia.
Komentar telah ditutup.