BOJONEGORO – Beritautama.co – Penerapan restorative justice (RJ) dengan menggandeng pemerintah desa (pemdes) dalam implementasinya sangat tepat. Sebab, desa dinilai lebih mengetahui situasi sosial di tengah masyarakat. Untuk itu, Kejaksaan Negeri (Kejari) Bojonegoro bekerja sama dengan Pemkab Bojonegoro melalui Dinas Pemberdayaan Masyarakat Desa Bojonegoro menggelar seminar hukum penerapan restorative justice (RJ) di Pendopo Malowopati, Rabu (20/07/2022) kemarin.
Seminar tersebut mengambil topik “Wujud Sense of Crisis Jaksa terhadap Permasalahan Sosial di Masyarakat dalam Penegakan Hukum yang Humanis”. Kegiatan ini mengundang camat dan kepala desa se-Kabupaten Bojonegoro.
Kepala Kejaksaan Negeri Jawa Timur Mia Amiati yang hadir dalam acara tersebut mengatakan, restorative justice merupakan gagasan baik. Sebab, menyentuh langsung pada seluruh lapisan masyarakat. Dalam hal ini berkaitan dengan camat, kepala desa, hingga perangkat desa yang tentu merasakan langsung bahwa keadilan itu ada untuk lapisan masyarakat paling bawah.
“Atas nama pimpinan mengucapkan terima kasih kepada seluruh jajaran kejaksaan negeri dan panitia atas terselenggaranya acara dan bersinergi dengan dinas pemberdayaan masyarakat desa,” ujarnya mengawali seminar sebagai perayaan Hari Bhakti Adhyaksa Ke-62.
Dia menuturkan, paradigma saat ini masih ada beberapa kalangan yang memandang hukum tajam ke bawah tapi tumpul ke atas. Sebab, ada beberapa kasus yang mencederai keadilan masyarakat. Salah satu penyebabnya adalah hukum yang tidak humanis. Seolah-olah berlaku, manusia adalah hukum. Bukan hukum untuk manusia, sehingga rasa keadilan bagi masyarakat terabaikan.
Menurutnya, humanisme sangat dibutuhkan dalam proses penegakan hukum. Berupa lingkungan budaya dan kearifan lokal.
Dia menjelaskan, aparat hukum dalam memproses perkara harus menggunakan hati nurani. Dengan hati nurani dapat menentukan nilai moral untuk menghindari penerapan pasal-pasal peraturan perundang-undangan secara menyimpang yang akhirnya justru akan memberikan keadilan yang tidak pada tempatnya.
“Penerapannya harus mendasar pada kehidupan sosial di masyarakat,” jelasnya.
Sementara itu, Kepala Kejaksaan Negeri Kabupaten Bojonegoro Badrut Tamam menuturkan, sejak pendirian Rumah Restorative Justice di 2021, Kejari Bojonegoro telah melaksanakan 13 perkara yang sudah di-RJ-kan hingga 2022.
“Itu semua sudah dilakukan bersama-sama dengan bapak ibu kades (kepala desa) di Kabupaten Bojonegoro. Tanpa peran camat, kepala desa, perangkat desa, hingga tokoh, kita tidak akan pernah tahu apakah hal tersebut layak dan patut dihentikan penuntutannya berdasakan RJ,” ujarnya.
Sebab, lanjutnya, kepala desa berperan sebagai orang tua di daerah masing-masing yang tahu keadaan sosialnya. Diharapkan adanya sense of crisis (kepekaan), jaksa tidak menggunakan kacamata kuda dalam melihat kesalahan yang bersangkutan bahwa dia melanggar hukum. Inilah kesempatan untuk melihat melalui sisi sosial.
“Kasus terakhir, ada seseorang terpaksa mengambil uang (menjambret). Ternyata untuk membiayai kelahiran istri. Di sini korban memberikan maaf,” tuturnya.
Dia menjelaskan, ada hati nurani bagaimana menegakkan keadilan, sehingga tidak mendasar pada hukum yang ada. Melainkan juga melihat sisi hukum dari sisi manfaatnya. Peran desa di sini mengayomi dan tidak mengadili. Sementara pemerintah hadir untuk mewujudkan hukum tajam ke atas dan tumpul ke bawah. (han/zar)