NASIONAL, Berita Utama- Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) meminta Presiden Jokowi mengevaluasi kinerja Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo). Sebab, agenda penghentian siaran TV analog atau Analog Swicth Off (ASO) ke siaran TV digital pada Rabu (2/11/2022) kemarin, dinilai dilakukan secara serampangan dan berlangsung amburadul.
Alasannya, pembagian alat penerima siaran digital atau Set Top Box (STB) kepada kelompok masyarakat miskin belum merata. Bahkan, masih terdapat 6 stasiun televisi yang melakukan siaran analog dengan alasan bahwa proses ASO cacat hukum.
Selain itu, pelaksanaan penghentian ASO di Jabodetabek dilaksanakan tanpa ada landasan yuridis teknis. Karena hingga saat ini kominfo belum menyiapkan PP pengangganti dari PP no.46/2021 yang telah dibatalkan oleh Mahkamah Agung (MA).
“Oleh karena itu, GMNI meminta Presiden Jokowi mengevaluasi kinerja Menteri Komunikasi dan Informatika. Khususnya terkait dengan agenda penghentian siaran TV analog ke TV digital,” kata Sekretaris Jenderal DPP GMNI, Muh Ageng Dendy Setiawan dalam siaran persnya, Jum’at (04/11/2022).
Menurutnya, ASO ini merupakan salah satu amanat UU no.11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja yang menyebutkan bahwa pelaksanaan siaran digital sudah harus tuntas dilaksanakan paling lambat dua tahun setelah penetapan UU Cipta Kerja. Artinya pada 2 November 2022 sudah tidak ada lagi siaran analog di seluruh wilayah Indonesia.
“Dua tahun yang lalu, pada saat UU Cipta Kerja disahkan, Menteri Kominfo mengatakan bahwa akan menuntaskan ASO di 112 wilayah siaran yang meliputi 341 kabupaten dan kota seluruh Indonesia. Sedangkan 173 wilayah kabupaten dan kota di luar wilayah ASO, akan dilaksanakan program Digital Broadcasting Systen (DBS),” imbuh dia.
Kenyataannya pada 2 November 2022 yang lalu, ASO hanya dilaksanakan di Jabodetabek yang hanya meliputi 14 wilayah kabupaten dan kota. Hal ini merupakan bentuk pelanggaran terhadap amanat UU Cipta Kerja.
“Belum meratanya pembagian alat penerima siaran digital atau Set Top Box kepada kelompok masyarakat miskin, yang dijadikan alasan pelaksanaan ASO hanya di wilayah jabodetabek, malah menunjukkan ketidakmampuan Menteri Kominfo dalam mengatur dan melakukan konsolidasi terhadap para pelaku industri penyiaran,” tuturnya.
Mantan Ketua DPD GMNI Jawa Timur itu menegaskan, seharusnya waktu dua tahun yang diberikan oleh UU Cipta Kerja itu, dimanfaatkan secara maksimal oleh Kementerian Kominfo untuk membuat berbagai kebijakan dan regulasi yang dapat mengarahkan seluruh stakeholder, khususnya pelaku industri penyiaran untuk bersama-sama mensukseskan ASO.
“Dalam hal ini Menteri Kominfo juga telah secara sembrono mengabaikan keputusan Mahkamah Agung yang telah membatalkan Peraturan Pemerintah nomor 46 tahun 2021 tentang Pos Telekomunikasi, Penyiaran (Postelsiar) yang merupakan regulasi teknis sebagai turunan dari UU Cipta Kerja,” terangnya.
Berbagai fakta tersebut menunjukkan bahwa agenda ASO dilakukan secara serampangan oleh Menteri Kominfo, dan berlangsung amburadul. Pernyataan menteri kominfo, bahwa telah melaksanakan amanat UU Cipta Kerja adalah kebohongan publik.
“Amburadulnya pelaksanaan ASO telah membuat Indonesia kehilangan momentum mengembangkan infrastruktur digital,” tuturnya.
Jika ASO sukses dilaksanakan, sambung Ageng Dendy Setiawan, seharusnya Indonesia mendapatkan digital deviden, atau keuntungan digital berupa kanal frekuensi yang dapat digunakan untuk mengembangkan mobile broadband internet.
“Berdasarkan data yang dirilis Speedtest Global Indeks 2022, Indonesia saat ini berada pada peringkat 110 dalam hal kecepatan akses mobile internet, turun 7 peringkat dari tahun sebelum,” pungkasnya.