SEBAGAI penggemar musik yang seringkakali mendengarkan lagu-lagu Soneta, mulai dari Orkes Melayu (OM) hingga menjelma menjadi genre musik dangdut, tentu bagi penulis tidak asing lagi ketika mendengarkan aransemen musik Deep Purple. Karena bagi penulis, musik Soneta memang terinspirasi dari lagu-lagu Deep Purple.
Seperti mendengarkan lagu “Child in Time” yang mirip dengan lagu “Ghibah”, dan juga senyampang mirip dengan lagu “Terpaksa”. Begitu juga lagu “Smoke on The Water” yang kemarin (Jumat/10/03/2023) sempat viral karena ada protes, ternyata juga mirip dengan lagu “Nafsu Serakah”.
Pertanyaannya, apakah Rhoma Irama dan Soneta tidak sadar bahwa lagu tersebut melanggar hak cipta? Tentu sebelum jauh memvonis, terlebih dahulu berpijak pada sejarah perkembangan musik dangdut di Indonesiam dimana banyak sekali unsur pendukung yang perlu ditinjau sehingga tercipta jenis musik yang bernama dangdut.
Sebelum berkembang menjadi musik dangdut, lebih dahulu dikenal dengan istilah orkes melayu (OM). Orkes atau orkest (ejaan lama) sebenarnya berasal dari Eropa yakni orchestra. Orkes Melayu berkembang pada akhir 1930-an. Saat itu, ciri musik ini adalah memakai instrumen musik ala Eropa, seperti piano dan biola.
Kata Melayu sendiri dipilih untuk membedakan jenis musik ini dengan musik lainnya. Tercatat bahwa pada tahun 1930-an, Orkest Melajoe Sinar Medan pimpinan Abdul Halim dari Batavia (Jakarta) memainkan lagu melayu dengan diiringi instrumen musik Eropa.
Musik Melayu merujuk pada satu jenis musik yang berkembang di Pantai Sumatra Timur dan terkenal dengan nama Melayu-Deli. Sehingga pada masa itu, musik Melayu diasosiasikan sebagai irama Deli.
Istilah orkes melayu sendiri, sebenarnya dipopulerkan oleh Dr Adnan Kapau Gani. Orkes melayu merupakan bentuk penyetaraan selera musik Indonesia terhadap Eropa sekaligus disisi lain sebagai pembeda bahwa musik ini adalah jenis lagu melayu bukan lagu Eropa.
Pada tahun 1940-an, sebenarnya banyak lagu-lagu sudah bernuansa dangdut. Hanya saja istilah dangdut pada saat itu belum muncul. Pada saat itu, ada beberapa alat musik yang ditambahkan dalam irama melayu seperti rebana dari Arab, mandolin dari Amerika Latin, tabla dari India, kemudian dikolaborasikan dengan piano, biola, dan saksofon. Unsur India mulai masuk sejak masa ini, masuknya tabla dalam aransemen musik Melayu itu sering disebut dengan istilah “irama tabla” kemudian terus berkembang dari tahun ke tahun.
Pada tahun 1950-an, irama melayu cenderung bernuansa lagu India dengan penyanyi tenar saat itu yakni Ellya M. Haris atau lebih dikenal sebagai Ellya Khadam dengan lagu “Boneka dari India” yang diciptakan oleh Husein Bawafie. Kemudian pada masa demokrasi terpimpin, arus budaya perfilman dan musik India mulai masuk dengan sangat kencang lantaran ditutupnya keran perfilman barat.
Arus perfilman India yang berisi nyanyian lagu-lagu India tentu saja mempengaruhi karakter budaya musik yang ada di Indonesia saat itu, seperti contoh pengaruh film Dil-E-Nadan (1953) yang diadaptasi ke dalam orkes melayu.
Lagu “Zindagi Denewale Sun” yang dinyanyikan oleh Talat Mahmood diadaptasi oleh orkes melayu dan dinyanyikan ulang oleh Ida Laila dan Mus Mulyadi dengan menggunakan bahasa Indonesia dengan judul “Suara Hati” (1978). Lagu Awara Hoon yang dinyanyikan oleh Mukesh diadaptasi oleh OM Awara dan dinyanyikan ulang oleh Ida Laila dengan judul “Demi Cinta”, lagu “Aane Se Uske Aaye Bahar” yang semula dinyanyikan oleh Mohammed Rafi kemudian diadaptasi oleh Oma Irama menjadi lagu “Gulali” (1995). Fenomena adaptasi lagu yang dilakukan oleh Orkes Melayu Indonesia ini tentu menjadi bagian dari kuatnya arus budaya yang terjadi pada kurun waktu 50 tahun hingga awal tahun 2000-an.
Beberapa Orkes Melayu (OM) yang turut meramaikan dunia industri musik di Indonesia adalah OM Purnama, group El Sitara, OM Sinar Kemala pimpinan A. Kadir, OM Pancaran Muda pimpinan Zakaria, OM Chandraleka pimpinan Umar Alattas, OM Kenangan pimpinan Husein Aidid, OM Sinar Medan pimpinan Fauzi Aseran, OM Bukit Siguntang pimpinan Abdul Chalik, OM Irama Agung pimpinan Said Effendi, Orkes Gumarang pimpinan Asbon, dan masih banyak lagi. Sedangkan penyanyi yang terkenal saat itu adalah Ellya Agus, Ida Laila, A. Rafiq, Mashabi, Munif Bahaswan, dan masih banyak lainnya.
Pada fase tahun 60-an hingga awal 70-an, jenis musik yang dibawakan oleh Oma Irama (nama beken sebelum menjadi Rhoma Irama) cenderung bernuansa melayu. Dan pada saat itu, Oma Irama masih tergabung dalam Orkes Melayu Purnama. Beberapa lagu saaat itu antara lain; “Renungan Budi”, “Patjar yang baroe”,”Ajah Kawin Lagi”, “Nona Manis”, dan masih banyak lainnya.
Dangdut mulai dipopulerkan pada tahun 1970-an. Beberapa musisi yang berperan dalam penyebaran musik dangdut di Indonesia pada masa itu adalah Rhoma Irama, Elvi Sukaesih, dan Mansur S. yang kala itu mendapat julukan raja, ratu, dan pangeran dangdut.
Pada tahun 1975, Rhoma Irama dengan grup baru yang bernama OM Soneta membuat album “Begadang” yang nuansa musiknya sangat kental kita rasakan hingga saat ini, yakni nuansa perpaduan musik melayu dengan musik rockyang kemudian melahirkan sebuah tipe musik gaya baru dengan nama dangdut (Kamal, 2013).
Dari sejarah perkembangannya, dapat disimpulkan bagaimana dangdut merupakan jenis genre musik modern yang muncul dari proses akulturasi, yakni perpaduan antara jenis musik India, Timur Tengah, dan Barat (Wallach 2008 & David 2008).
Sebelum dikenal oleh masyarakat luas dengan nama “dangdut,” musik yang berakar kuat dari musik melayu ini mengalami transformasi dan oleh beberapa peneliti disebut telah dimodernisasi oleh Rhoma Irama.
Melalui kelompok musiknya yang bernama OM Soneta, Rhoma Irama memasukkan instrumen khas dalam setiap performanya yakni instrument gitar rock. Masuknya gitar rock seperti yang dipopulerkan oleh Soneta terinspirasi dari kelompok musik rock Deep Purple yang berasal dari Inggris.
Meskipun sudah mengalami modernisasi, ciri utama musik dangdut bukanlah dari gitar rock-nya, tetapi dari alat musik gendang dan suling. Gendang merupakan alat musik yang sudah dimodifikasi dari bentuk sebelumnya yang bernama tabla dari India, sedangkan suling adalah alat musik yang berasal dari Jawa Barat yang terbuat dari bambu yang sudah dimodifikasi dari bentuk asalnya yang sebelumnya dikenal dengan nama “bangsing”.
Instrumen musik Melayu sebelumnya terdiri dari gendang ronggeng dan tamborin, namun setelah bergeser menjadi dangdut, instrumen tersebut kini sudah ditambahkan dengan instrumen musik Barat seperti drum, akordion, biola, piano, organ elektrik dan gitar elektrik. (Wallach, 2008)
Kejadian viral kemarin (Jumat/10/03/2023) saat Soneta menjadi grup musik pembuka konser Deep Purple di Solo, tentu bisa dikaitkan dengan sejarah yang sangat panjang. Dahulu, hak cipta tidak secanggih dan seketat sekarang ini. Arus budaya yang begitu kuat menjadi faktor bagaimana musik menjadi blended dan membentuk genre-genre musik baru seperti ragam musik yang kita dengar pada saat ini.
Lahirnya dangdut terinspirasi dari ragam jenis musik India, Timur Tengah, dan Barat. Namun tentu sangat disayangkan jika kemarin kru Deep Purple sempat memprotes Rhoma Irama ketika membawakan lagu “Nafsu Serakah” yang intronya memang terinspirasi dari “Smoke on the water” nya Deep Purple. Harusnya Deep Purple bangga bahwa sebenarnya mereka adalah inspirasi Sang Raja Dangdut Rhoma Irama dan cita rasa instrumen gitar rock-nya turut berkontribusi atas warna musik dangdut yang sudah didengarkan oleh milyaran pendengar dari masa ke masa.
Dan musik dangdut tak lepas dari joget. Mungkin, warga +62 daripada mumet ikutan mikir, mending Deep Purple dijogetin saja.
M.SYAHRUL MNIR
Penulis adalah penikmat musik dan legislator di DPRD Gresik
Komentar telah ditutup.