GRESIK, Berita Utama – Sejumlah desa sekitar proyek PT Freeport Indonesia (PTFI) di ring 1 bergejolak. Mereka mengeruduk Pusat Transformasi Bersama (PTB) yang merupakan kerja sama operasi (KSO) Yayasan Ta’mir Masjid Manyar (YATAMAM). Sebab, dinilai tidak transparan dalam mendistribusikan hasil pengelolaan limbah kontruksi non bahan berbahaya beracun (B3) berupa sampah besi.
Selama ini, pembagian hasil pengelolaan limbah proyek pembangunan smelter di kawasan Java Integrated Industrial Ports and Estate (JIIPE) dinilai belum sepenuhnya merata kepada 9 desa yang ditetapkan sebagai ring 1. Padahal, jauh hari PTFI telah mengumumkan 9 desa yang ditetapkan masuk ring 1 akan menjadi prioritas, baik dalam tenaga kerja, corporate social responsibility (CSR), maupun kemitraan lainnya.
Kesembilan desa tersebut 5 yakni Manyar Sidorukun, Manyarejo, Manyar Sidomukti, Karangrejo, dan Banyuwangi Kecamatan Manyar dan Desa Bedanten, Tanjung Widoro, Kramat, dan Watuagung Kecamatan Bungah.
Tuntutan tersebut terungkap saat 5 kepala desa (Kades) beserta ketua badan usaha milik desa (BUMDes) dan sejumlah tokoh perwakilan desa melakukan mediasi dengan perwakilan PTFI, jajaran pimpinan PTB YATAMAM, dan lembaga swadaya masyarakat (LSM) Wahana Edukasi Harapan Alam Semesta (WEHASTA), Rabu (8/12/2022). Kelima desa yang tak puas di wilayah Mengare komplek meliputi Tanjung Widoro, Kramat, Watuagung Kecamatan Bungah. Kemudian Desa Bedanten, dan Karangrejo Kecamatan Manyar.
“Sebagai perwakilan warga, kalau pihak PTB yang sudah menjalin kesepakatan dengan PT Freeport Indonesia untuk mendistribusikan sampah besi, ya didistribusikan saja ke sembilan desa. Karena sudah hak warga ring 1. Jadi jangan mengatur desa. Kasihkan saja ke desa, biar dikelola dan kita selaku pemerintah desa bersama BUMDes siap mempertanggungjawabkan,” kata Kepala Desa Tanjung Widoro Mengare, Nastain.
Tiga desa di wilayah Mengare komplek termasuk desanya, lanjut dia, selama ini tidak pernah dilibatkan dalam setiap pembahasan mengenai ketentuan dan mekanisme pendistribusian limbah kontruksi berupa sampah besi dari proyek smelter melalui PTB. Padahal seharusnya, 9 desa yang telah ditetapkan sebagai ring 1 memiliki hak yang sama.
“Kalau untuk mengatur pengembangan kemasyarakatan, balai latihan kerja (BLK) ataupun anak yatim, apa bedanya KSO dengan BUMDes?. Hhanya saja kita tidak pernah diajak berbicara. Padahal, kita juga siap jika PT Freeport Indonesia untuk audit, laporan dan lain sebagainya, jadi menurut saya libatkan semua BUMDes karena kepentingannya jelas untuk masyarakat,” tegas dia.
Sementara Kepala Desa Kramat Taufik meminta PTB YATAMAM membagikan jatah hasil pengelolaan sampah besi limbah kontruksi proyek smelter kepada 9 desa secara transparan. Sebab jika tidak, akan menimbulkan konflik sosial di tengah masyarakat desa.
“Kalau tidak transparan nanti bahkan bisa menimbulkan fitnah di masyarakat. Sebab masyarakat tahunya sampah besi limbah kontruksi proyek freeport diberikan kepada 9 desa ring 1. Nanti, dikira diambil kepala desa dan perangkat saja. Kalau seperti itu, kita yang kena fitnah. Padahal, kita tidak mengetahui dan tidak pernah diajak bicara,” ucapnya.
Untuk itu, Taufik tidak ingin ada selisih faham antara warga satu dengan lainnya. Maka dukungan penuh dari PT KSO untuk bisa transparan dan mengakomodir seluruh aspirasi 9 desa yang masuk ring 1 sangat diharapkan, agar situasi tetap aman dan kondusif tanpa ada permasalahan apapun.
“Jadi kami mewakili warga Mengare komplek ingin ada solusi terkait permasalahan ini, agar terkait pengelolaan sampah besi limbah kontruksi proyek Freeport bisa didistribusikan secara transparan, kalau memang desa-desa kami ini ditinggal oleh KSO, maka kami punya inisiatif atau cara sendiri,” tegas dia.
Pada kesempatan itu, Direktur Umum (Dirut) PTB YATAMAM Azhar menerangkan bahwa ada dua mekanisme distribusi sampah besi limbah kontruksi proyek smelter. Pertama melalui mekanisme trial (uji coba) dan direct sale (penjualan langsung). Untuk menjalankan mekanisme itu, desa harus menyajikan buyer (pembeli) yang memiliki legalitas resmi.
“Kami baru berjalan dua bulan untuk pengelolaan limbah besi PT Freeport Indonesia ini. Khusus trial, lahan PTB hanya mampu menampung untuk jatah tiga desa Manyar komplek, sebab PT Freeport hanya menyewa lahan seluas 1 hektar. Itu belum dibuat loading, perkantoran dan lainnya,” ujarnya.
Distribusi hasil pengelolaan sampah besi limbah kontruksi proyek smelter, kata Azhar, bisa berbentuk uang tunai serta program-program yang dilaksanakan di desa-desa. Seperti santunan anak yatim piatu, maupun program-program pemberdayaan dan pembangunan infrastruktur desa.
“Bisa berupa uang tunai maupun program-program, untuk selanjutnya nanti akan ada pertemuan lagi terutama membahas terkait transparansi, pembagian, maupun harga sampah besi,” jelasnya.
Namun mediasi berakhir dengan jalan buntu. Selanjutnya, pertemuan akan digelar kembali dalam dua pekan ke depan dengan melibatkan PT Freeport Indonesia, PTB Yatamam, dan perwakilan Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) 9 desa terdampak.
Komentar telah ditutup.