Site icon Beritautama.co

MEMBACA PROGRES UHC

FAIZ ABDALLA Ketua Karang Taruna Kabupaten Gresik

ADA  3 kata kunci untuk membaca progres UHC di suatu daerah. Pertama, yaitu akses. Maksudnya, sejauh mana program UHC di daerah tersebut mampu meningkatkan akses ke fasilitas kesehatan formal, baik fasilitas kesehatan tingkat pertama (FKTP) maupun fasilitas kesehatan rujukan tingkat lanjut (FKRTL). Atau, kalau mau lebih spesifik, dapat juga mengajukan pertanyaan, “Sejauh mana UHC mampu mendorong masyarakat miskin untuk berobat dibandingkan dengan sebelum program UHC dijalankan?”

Sebab, jangan sampai, anggaran besar yang dialokasikan untuk UHC hanya memberi perubahan kuantitatif pada bertambahnya cakupan peserta saja, dalam hal ini PBI-APBD. Namun, justru kurang memiliki daya dorong dalam mengintervensi progres sejauh mana aksesibilitas fasilitas kesehatan bagi warga di daerah. Karena memang, harus diakui, bahwa starting point dari program UHC adalah untuk jaminan derajat kesehatan yang merata. Sehingga bisa mengikis kesenjangan warga miskin terhadap akses kesehatan formal.

Oleh karena itu, Dinas Kesehatan (Dinkes) Kabupaten Gresik perlu menghitung, sejauh mana progres akses fasilitas kesehatan setelah program UHC diresmikan sejak Oktober 2022?. Atau, sejauh mana warga  data terpadu kesejahteraan sosial (DTKS), baik yang program maupun non-program, terdorong untuk berobat, dibanding sebelum ada program UHC? Apalagi, terjadi lonjakan drastis peserta penerima bantuan iuran jaminan kesehatan (PBI-JK) dalam struktur cakupan UHC 2022.

Kedua, yaitu pelayanan berkualitas. Tantangan selanjutnya dari program UHC ini adalah pelayanan. Yang harus terlebih dulu dipahami, bahwa UHC bukanlah program bantuan sosial (bansos) atau program berobat gratis yang didapatkan pasien secara cuma-cuma. Karena, konstruksi hukum asal yang mendasari UHC adalah perjanjian asuransi sosial kesehatan. Yang menempatkan pasien sebagai nasabah yang haknya dijamin UU Perlindungan Konsumen. Mengingat, anggaran yang disiapkan pemerintah daerah untuk penerima bantan iuran daerah (PBI-D) dan potensi migrasi dari pekerja penerima upah (PPU), pekerja bukan penerima upah (PBPU), dan BP ke PBI-D, sangatlah besar.

Dengan begitu, konsekuensi hubungan hukum itu tentu pada pelayanan yang baik. Antara konsumen dengan penyedia jasa. Antara penjamin dengan penyelenggara jaminan. Selain itu, program UHC juga perlu dipahami sebagai upaya pembenahan semua komponen sistem kesehatan, mulai dari promotif, preventif, hingga kuratif.

Memang, ini sangat berat. Karena pada aspek ini, berkaitan tentang kesiapan infrastruktur, jaringan, hingga subsistem lain, seperti SDM, UKM, sampai pemberdayaan masyarakat. Akan tetapi, ini harus dipahami sebagai proses. Program UHC adalah momentum bagi daerah untuk membangun sistem kesehatan daerah yang lebih paripurna.

Sebagai langkah awal, mungkin bisa fokus pada komponen kuratif terlebih dahulu. Collective understanding antar jaringan supply side perlu diperkuat lagi. Lalu, mutual understanding antara BPJS dengan RS mitra tentang interpretasi gawat darurat juga perlu titik temu lebih lanjut.

Nah, pelayanan berkualitas itu bisa diterjemahkan melalui indeks kepuasan peserta. Hal ini dilakukan untuk memetakan dimensi apa saja yang sudah baik dan perlu dipertahankan, serta apa saja yang perlu ditingkatkan ?. Meliputi product knowledge-nya, keterjangkauan informasi dan pengaduan peserta, infrastruktur kesehatannya, responsifitas-nya, hingga pada ketersediaan dan distribusi SDM.

Untuk yang ketiga, yaitu tanpa kesulitan keuangan. Hasil studi LPEM FEB UI 2020 menunjukkan bahwa pada 2019 program JKN-KIS mencegah 8,1 juta orang dari kemiskinan, dan 1,6 juta orang miskin dari kemiskinan yang lebih parah akibat pengeluaran biaya kesehatan rumah tangga. Artinya, program UHC di daerah juga perlu dilihat dalam kerangka inklusifitas kesejahteraan sosial. Hal ini sejalan dengan prioritas Nawakarsa Bupati Gresik, yakni rumpun program pengentasan kemiskinan.

Setidaknya, ada 3 poin Nawakarsa Bupati Gresik yang interconnected dalam program UHC ini. Pertama, tentu Gresik Sehati. Tantangannya, tentu bukan lagi soal cakupan peserta, tapi sejauh mana Puskesmas dan segala perangkatnya di desa serta UKBM mampu menjadi ujung tombak sistem kesehatan daerah. Kedua, yaitu Gresik Satya dan Gresik Seger.

Di samping revitalisasi data DTKS, tantangan ke depan adalah sejauh mana UHC mampu menjadi jaring bantalan sosial yang berkelanjutan, bahkan empowering. Sementara ketiga, adalah Gresik Akas. Bukan tak mungkin, cakupan peserta UHC di daerah lebih dari 100 persen. Oleh sebab itu, UHC benar-benar alat uji kesiapan infrastruktur data adminduk di daerah.

FAIZ ABDALLA

Penulis dalah Ketua Karang Taruna Kabupaten Gresik

Exit mobile version