NASIONAL, Berita Utama– Enam individu satwa liar jenis Biawak Komodo (Varanus komodoensis) hasil pengembangbiakan (captive breeding-Ex-situ) dari Lembaga Konservasi Taman Safari Indonesia (TSI) Cisarua, Bogor yang didukung PT Smelting melalui program CSR-nya, diberangkatkan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) untuk kembali ke habitatnya di Cagar Alam (CA) Wae Wuul, Nusa Tenggara Timur (NTT), Senin (14/8/2023)
Kegiatan pelepasliaran ini, merupakan langkah penting untuk meningkatkan populasi Komodo di alam (in situ). Keenam satwa ini akan menjalani proses habituasi selama satu bulan di CA Wae Wuul sebelum dilepasliarkan pada pertengahan September 2023 mendatang.
Sebelumnya, telah dilakukan pula rangkaian kegiatan berupa sosialisasi pelepasliaran Komodo di berbagai lokasi antara lain di Bogor, Jakarta, Surabaya, Gresik, maupun di Labuan Bajo khususnya di desa sekitar CA Wae Wuul oleh Balai Besar KSDA NTT bekerjasama dengan Lembaga Konservasi TSI dan PT Smelting, serta pelatihan pengoperasian telemetry GPS dan pengolahan data untuk monitoring pasca pelepasliaran yang akan dilakukan selama 3 tahun di lokasi pelepasliaran.
Untuk melindungi populasi Komodo dari kepunahan, Pemerintah Indonesia telah menetapkan kawasan konservasi yang menjadi habitat Komodo, diantaranya Taman Nasional Komodo dan Cagar Alam Wae Wuul.
Direktur Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem (KSDAE) KLHK, Prof. Dr. Satyawan Pudyamoko, menyambut baik rencana pelepasliaran Komodo ini. Lebih lanjut, Satyawan menyampaikan bahwa Indonesia termasuk salah satu negara yang memiliki kekayaan alam terbesar di dunia. Wilayah Indonesia yang luas dengan karakteristik habitat yang beragam sangat mendukung kehidupan bagi berbagai jenis satwa liar, sehingga sebaran satwa di Indonesia sangat variatif. Kawasan NTT sebagai salah satu habitat biogeografis unik memiliki ciri satwa khas dan endemik yang keberadaannya hanya dapat ditemui di wilayah tersebut, seperti biawak Komodo.
“Upaya pelepasliaran Komodo ke habitatnya dari pengembangbiakan di Lembaga Konservasi seperti TSI, merupakan implementasi program ex situ linked to in situ, Semoga program ex situ linked to insitu ini dapat direplikasi keberhasilannya oleh Lembaga konservasi lain, dan Komodo yang dilepasliarkan dapat hidup dan berkembang biak dengan baik di habitat alaminya,” ungkap dia.
Sesuai dengan mandat peraturan perundangan yang berlaku bahwa salah satu fungsi Lembaga Konservasi dalam hal ini Taman Safari adalah sebagai tempat cadangan genetik guna mendukung populasi in-situ, yang di antaranya dapat dimanfaatkan untuk pelepasliaran (restocking) ke habitat alaminya. Pelepasliaran ini merupakan bukti nyata bahwa konservasi ex-situ dapat mendukung konservasi in-situ, atau dikenal dengan strategi ex-situ linked to in-situ. Satyawan berharap agar Komodo yang dilepasliarkan ini mendukung kelestarian dan peningkatan populasi komodo di habitat aslinya.
Biawak Komodo merupakan spesies yang dilindungi undang-undang, berdasarkan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 106 tahun 2018, dan dikategorikan sebagai spesies Endangered dalam daftar merah IUCN. Populasi Komodo di alam liar, saat ini terbatas penyebaraannya di beberapa pulau seperti Pulau Rinca, Pulau Padar, Gili Motang, Nusa Kode, Pulau Komodo, dan Pulau Flores.
Di luar kawasan Taman Nasional Komodo, komodo dapat ditemukan pada kawasan konservasi lain yakni di Cagar Alam (CA) Wae Wuul, CA Wolo Thado, CA Riung dan Taman Wisata Laut 17 Pulau Riung. Berdasarkan hasil monitoring yang serta analisis data ekspedisi komodo di Flores Tahun 2015-2018, komodo dapat ditemukan pula di luar kawasan hutan konservasi antara lain: Pulau Longos, Golo Mori, Mburak, Tanjung Kerita Mese, Nanga Bere/ Nisar, (Kabupaten Manggarai Barat), Pota, Baras, Golo Lijun-Buntal (Kabupaten Manggarai Timur), serta Semenanjung Torong Padang (Kabupaten Ngada
Komentar telah ditutup.