TIDAK salah muncul anggapan bahwa perubahan besar dalam sebuah negara atau bangsa dimulai dari kalangan muda atau milenial. Semangat milenial adalah semangat perubahan, aktif, energik, penuh spirit, kreatif, visioner, pekerja keras, serta mempunyai nilai positif bagi kemajuan bangsa atau daerah.
Pemerintahan Gresik Baru dengan sosok kepala daerah milenial sangat mencolok untuk melakukan akselerasi perubahan. Apalagi di era digitalisasi seperti ini. Sehingga, energi milenial yang berlebih hendak diselaraskan melalui transformasi digitalisasi sekaligus berinovasi dengan menghasilkan kebijakan yang populis untuk jangka pendek. Semangat yang diusung reformasi birokrasi.
Hanya saja, tanpa disadari kebijakan populis tidak serta merta bisa menuntaskan permasalahan untuk jangka panjang. Bukan berarti kami yang menjadi mitra kerja di parlemen tidak mendukung untuk penuntasan masalah yang berjangka pendek. Namun, hal itu perlu didahului dengan penguatan pondasi perekonomian dan infrastruktur birokrasi yang menunjang dan memadahi.
Kenyatannya banyak program baru di pemerintahan Gresik Baru sulit untuk direalisasikan karena perangkat pendukung yang belum siap. Baik itu perangkat birokrasi maupun payung hukumnya. Seperti bantuan dusun (bansun) Rp 100 juta persdusun, subsidi pupuk untuk petani dan nelayan, dan badan usaha milik daerah (BUMD) pertanian.
Masalah pupuk subsidi, kepala daerah perlu kembali ke visi-misi awal dulu untuk membuat BUMD Pertanian agar Pemkab Gresik bisa mensubsidi pupuk sekaligus menjaga harga agar stabil saat panen raya. Bukan lantas membuat program baru berupa bantuan sosial (bansos) bagi petani dan nelayan yang ternyata tidak bisa direalisasikan karena berbenturan dengan program Dinas Sosial (dinsos) atau bansos lainnya.
Hingga saat ini, BUMD Pertanian belum dieksekusi. Padahal, ini program yang sangat bagus dan menjadi kebutuhan masyarakat. Lebih jauh lagi, program subsidi hanya bisa berjalan jika ada BUMN atau BUMD yang siap mengeksekusi bantuan jenis subsidi sebagaimana nomenklatur Permendagri 77 Tahun 2020 tentang pedoman teknis pengelolaan keuangan daerah.
Baru-baru ini, kepala daerah juga memberikan pengarahan akan pentingnya digitalisasi tingkat desa. Pada dasarnya, sebagian besar desa sudah menyiapkan website desa untuk mempermudah akses digitalisasi.Ternyata, organisasi perangkat daerah (OPD) terkait memaknai digitalisasi tersebut dengan pengadaan anjungan mandiri.
Padahal tahun 2019 silam, sudah ada pilot project anjungan mandiri dengan nama Si Pencet oleh Desa Melirang Kecamatan Bungah yang jumlah penduduknya sebanyak 6.201 jiwa. Anjungan tersebut, saat ini mangkrak karena tidak dibutuhkan masyarakat.
Konsekuensinya jika program digitalisasi desa ini digencarkan, maka desa harus menambah porsi anggaran yang bersumber dari Dana Desa (DD) untuk mendukung program ini. Mengingat tidak ada tambahan untuk Alokasi Dana Desa (dana yang disediakan oleh Pemerintah Daerah). Terlebih lagi, anjungan ini berkonsekuensi pada tambahan anggaran biaya perawatan, listrik, dan perbaikan.
Faktanya, masyarakat lebih membutuhkan peran aktif perangkat desa untuk meningkatkan pelayanan administrasi desa.
Jika program ini kemudian dipaksakan, Pemkab Gresik perlu menentukan klaster untuk jumlah penduduk tertentu sehingga anjungan ini tidak menjadi mangkrak. Konsekuensi logisnya, pemerintahanan daerah yakni kepala daerah dan legislatif perlu mereview kembali dokumen-dokumen perencanaan yang sudah digagas sebelumnya saat penyusunan rencana pembangunan jangka menengah daerah (RPJMD) yang sebenarnya sudah komprehensif memuat rencana kerja dan target-target yang akan dikerjakan selama 1 periode masa jabatan.
Memang kebijakan populis adalah kebijakan sosialis di kala masyarakat menginginkan pemerataan. Namun, hal itu tidak bisa membereskan problem dasar yang ada di masyarakat dalam jangka panjang. Perlu program-program yang berkelanjutan, optimal, dan dikerjakan secara tuntas. Maka, membangun sistem yang baik adalah investasi jangka panjangnya
M SYAHRUL MUNIR
(Penulis adalah Anggota DPRD Gresik)