IMLEK, awalnya adalah suatu perayaan yang diselenggarakan para petani di Tiongkok untuk menyambut datangnya musim semi. Karena pada musim dingin, mereka tida dapat bekerja. Sehingga, perayaan ini disebut dengan xin jia (baca : sincia) atau perayaan musim semi. Dan istilah ini cukup populer bagi masyarakat Tionghoa yang tersebar diseluruh belahan dunia.
Sedangkan Imlek berasal dari kata Im artinya bulan dan Lek artinya penanggalan (baca L kalender) yang kemudian diterjemahkan menjadi tahun baru. Istilah Imlek ini, hanya ada serta masyhur di Indonesia. Sehingga tidak berlebihan jika Imlek dianggap kearifan kaum Tionghoa yang berada di Indonesia.
Adanya tradisi memasang lampion dan membakar petasan ketika datangnya Hari Raya Imlek bagi kalangan masyarakat Tionghoa, karena berasal dari kisah kuno. Zaman daluhu kala di Tiongkok, ada makhluk besar menyeramkan bertaring dan bertanduk panjang yang membunuh manusia serta merusak peternakan dan pertanian.
Makhluk itu oleh masyarakat Tiongkok dikenal Nian. Untuk menghalau makhluk jahat itulah, maka disiapkan penerangan dan suara-suara yang memekakkan sehingga makhluk itu tidak datang. Dari tradisi ini, kemudian setiap sincia (Imlek) maka selalu dihiasi dengan aneka sinar lampion dan suara petasan.
Lalu, bagaimana hubungan antara imlek dengan Khonghucu ?. Ternyata cukup menarik untuk dibahas. Karena, hubungan keduanya tidak sebagaimana hari raya (baca : tahun baru) pada agama yang lain.
Misalnya, dalam Islam tahun baru Islam (Hijriyah) dihitung saat ada momen penting yang dilakukan Nabi Muhammad melaksanakan hijrah dari Makkah ke Madinah. Tahun Masehi dihitung ketika terdapat momen penting kelahiran Nabi Isa (natal) di Baitullahmin (Betlehem) sehingga dikenal dengan tahun miladiyah (kelahiran).
Demikian dengan hari Raya Waisyak yang dijadikan pedoman peringatannya adalah kelahirang Sang Siddharta Gautama di Taman Lumbini pada tahun 623 sebelum masehi.
Maka bisa dikatakan adanya Hari Raya Imlek tidak memiliki hubungan langsung dengan Khonghucu sebagaimana Islam, Kristen atau Katholik serta Budha. Karena Imlek atau sincia (Xin Jia) adalah perayaan tradisi budaya di Tiongkok yang sudah lama ada sebelum Khonghucu resmi ada. Dengan kata lain perayaan Imlek bukan dihitung atau bersangkut paut dengan kelahiran, aktifitas dari tokoh bernama Khong Fu Tse yang kemudian dikenal dengan Khonghucu.
Kendatipun banyak sumber dan literatur yang mengatakan bahwa hari Raya Imlek adalah murni acara tradisi budaya masyarakat Tiongkok. Bukan perayaan yang berhubungan dengan Agama Khonghucu. Sehingga perayaannya lebih bersifat etnik. Artinya, setiap masyarakat Tionghoa yang masih merasa dan memiliki hubungan dengan Tionghoa akan merayakan Imlek dimanapun berada dan agama apapun yang dipeluknya diluar Agama Khonghucu sekalipun.
Namun anehnya, bila dikaji dari durasi waktunya tahun Imlek sekarang ini adalah 2574 Kongzili. Bila dikorelasikan dengan tahun masehi sekarang tahun 2023, maka bisa dihitung 2574 (kongzili) dikurangi 2023 (masehi) hasilnya 551 (sebelum masehi) dan tahun 551 (SM). Inilah tahun kelahiran Khonghucu, yang hidup antara 551 – 479 sebelum masehi (SM).
Barangkali munculnya pendapat diatas menunjukkan bahwa sampai hari ini, riuhnya berdebatan Khonghucu ini adalah agama atau filsafat budaya memang belum kelar. Ada yang mengatakan bahwa Khonghucu adalah agama. Namun ada pula yang mengatakan sebenarnya Khonghucu ini bukan agama tapi ajaran budi pekerti yang mengatur tata hubungan antar manusia serta manusia dengan alam sekitar sehingga terbangun kehidupan yang harmoni dan berjalan baik serta menguntungkan. Ringkasnya, pendapat ini menilai bahwa yang dimaksud Khonghucu adalah ajaran filsafat hidup dari Khong FuTse.
Pendapat ini menjelaskan pula, yang diajarkan oleh Khonghucu sekitar berbuat baik dalam hidup dan sesama hidup terutama bakti dan hormat pada orang tua. Tidak terlalu menonjol dalam menjelaskan tentang hubungan manusia dengan dewa-dewa atau pencipta-NYA serta bagaimana cara menyembahnya atau bisa diartikan tidak terlalu metafisika. Sedangkan yang cukup metafisika serta menata bagaimana hubungan manusia dengan dewa-dewa atau kekuatan adi kodrati yang bisa membantu keberhasilan hidup dan usahanya itu diajarkan Agama Tao dengan tokohnya Laozi atau Zhang Jiao.
Sehingga, ada yang menyimpulkan ketika manusia ingin sukses sesuai ajaran Khonghucu maka manusia tersebut harus jujur sehingga dipercaya oleh manusia yang lain, bekerja keras sehingga disukai manusia yang lain yang pada akhirnya akan berhasil usahanya.
Sedangkan Ajaran Tao, keberhasilan manusia memiliki korelasi dengan kebaikan hubungan manusia dengan para Dewa atau Penguasa Jagad Raya atau kekuatan adi kodrati. Bisa disimpulkan bahwa Khongfucianisme dan Taoisme adalah dua hal yang berbeda walaupun sama-sama lahir dari Cina.
Mensikapi perbedaan diatas, maka muncul lagi kearifan masyarakat Tionghoa di Indonesia dengan bentuk mempertemukan perbedaan itu dalam satu rumah ibadah yang disebut dengan kelenteng. Banyak yang mengatakan, istilah kelenteng ini asli Indonesia bukan berasal dari bahasa Cina.
Sebagai tempat ibadah, kelenteng harus bisa mewadahi tiga kelompok yaitu masyarakat Khonghucu yang seharusnya beribadah di Litang, masyarakat Tao yang seharusnya beribadah di kuil Tao, masyarakat Budha yang seharusnya beribadah di vihara, maka pada waktu itu lalu muncul istilah bahwa kelenteng adalah Tempat Ibadah Tri Darma (TITD) yaitu Khonghucu, Tao dan Budha.
Ketika Khonghucu telah resmi menjadi agama keenam di Indonesia, tentunya urusan Rumah Ibadah Tri Darma ini bukan berarti telah selesai begitu saja. Yang terjadi, bila pengurusnya dominan Khonghucu, pasti Rumah Ibadah ini diproklamirkan sebagai Kelenteng Khonghucu. Begitu sebaliknya, jika dominasi umat yang sejatinya beragama Budha.
Uniknya, walaupun masyarakat Indonesia telah memahami kelenteng adalah Khonghucu, tapi umumnya masyarakat yang beribadah disitu dalam kartu identitasnya masih ditulis Budha. Sehingga, memang Agama Khonghucu ini sudah resmi tapi urusan tempat ibadahnya masih ada yang menjadi hutang kita.
Dr. Muchammad Toha
Penulis adalah Pemerhati Sosial dan Sejarawan Gresik sekaligus Kepala Balai Diklat Keagamaan Semarang
Komentar telah ditutup.